Siang ini matahari bersinar begitu terik. Seorang pria paruh baya, berperawakan kurus, dan bermata sipit duduk berteduh di bawah sebuah pohon rindang di sekitar Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Sesekali kepalanya terangguk-angguk. Bukan karena memberikan isyarat mengiyakan. Malahan ia tampak kesakitan dengan anggukan kepalanya itu.
"Saya sakit saraf leher, Mas. Urat sarafnya tertarik," kata lelaki paruh baya bernama Suparman (58) ini dalam perbincangan dengan Kompas.com ketika tak sengaja bertemu di depan gerbang Mabes Polri, Minggu (24/1/2010).
Parman, demikian pria ini biasa dipanggil, adalah seorang gelandangan yang saban hari menggelandang di seputaran kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Sosok Parman memang agak "lain" dengan tampilan gelandangan jalanan lainnya. Meski tubuhnya kurus kering seperti hanya tulang berbalut kulit, penampilannya masih lebih bersih dibanding gelandangan mana pun di Jakarta.
Tutur katanya pun menandakan ia pernah mengenyam pendidikan tinggi. Pun guratan-guratan tua di wajahnya masih menyisakan paras tampan dan sisa-sisa kejayaan di masa lalu. "Sudah enam bulan ini saya menggelandang di Jakarta. Tidak punya tempat tinggal," kata Parman sambil tetap "mengangguk-angguk".
Sakit saraf itu tampaknya cukup banyak menyedot energi Parman. Wajahnya terlihat letih manakala kepalanya selalu mengangguk-angguk sekenanya tanpa bisa dikendalikan oleh lehernya. Siapa pun yang menyaksikan Parman tentu miris dengan sosok pria yang ternyata bekas pengusaha garmen sukses ini.
Dampak krisis
Parman merupakan salah satu dari sekian banyak korban yang jatuh akibat krisis moneter yang mendera Indonesia pada 1998. Usaha garmen miliknya ambruk lantaran merugi dihunjam krisis keuangan. Inilah awal yang menggiring Parman pada situasi seperti sekarang ini. Kondisi ekonomi yang tak menentu saat itu membuatnya kelimpungan dan tak mampu bertahan. Usaha garmen yang dirintisnya sedari kecil hingga besar itu jatuh dalam sekejap. "Dulu saya bisa dapat keuntungan hingga Rp 400 juta sebelum krisis. Sekarang sudah habis semua," kata Parman.
Frustrasi akibat kebangkrutan bisnisnya rupanya menohoknya begitu dalam. Entah bagaimana awalnya, sakit saraf pun mendera fisik Parman. Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Parahyangan ini mesti masuk keluar rumah sakit karena penyakit saraf leher itu. Padahal, kata Parman, keuangannya saat itu pun sudah sangat minim karena bangkrut. "Semua uang habis untuk biaya pengobatan. Puluhan kali keluar masuk rumah sakit, tapi enggak ada yang bisa mengobati," ucapnya.
Sudah jatuh tertimpa tangga
Nasib buruk yang menimpa Parman rupanya tak berhenti sampai di situ saja. Di tengah kondisi sakitnya, tak dinyana sang istri tiba-tiba menggugat cerai Parman. "Sekitar enam bulan lalu saya diceraikan. Mungkin dia sudah enggak tahan sama saya yang sakit-sakitan," ungkapnya.
Vonis cerai pun akhirnya dijatuhkan oleh pengadilan. Ketujuh anak Parman pun dimenangkan pengadilan untuk diasuh istrinya. "Setelah itulah saya menggelandang begini. Saya sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Kedua orangtua dan saudara-saudara saya sudah meninggal semua," kata Parman.
Tiap hari Parman menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang. Untuk tidur dan istirahat, ia selalu merebahkan diri di masjid-masjid di sekitaran Blok M. Sementara untuk makan dan minum, ia hanya berharap pada kebaikan hati orang yang ditemuinya. "Kalau makan siang, saya selalu dikasih sama polisi-polisi di Mabes Polri. Jatah makanan sisa mereka selalu dikasih kepada saya," ucap Parman.
Begitulah Parman setiap hari bertahan hidup. Pria keturunan Tionghoa asal Salatiga ini pun sebenarnya tak ingin hidup menjadi gelandangan. Ia mengaku sudah dua kali menyambangi panti sosial untuk bisa tinggal di panti. "Tapi ditolak. Katanya, saya masih bisa jalan dan masih bisa keliling-keliling. Jadi enggak usah masuk panti," tuturnya.
Berharap pada anak
Parman mengaku tidak ingin merepotkan orang lain dengan kondisi fisiknya. Saat diceraikan istrinya, ia pun tak mengharapkan belas kasihan untuk bisa tetap tinggal bersama anak-anaknya. Terlebih ketujuh anaknya pun belum ada yang bisa dikatakan mapan dan memiliki tempat tinggal sendiri. "Semua anak saya masih ikut ibunya. Saya juga enggak mau kalau harus ngerepotin," tukasnya.
Meski demikian, ia pun memiliki harapan agar kelak anak-anaknya bisa segera mandiri. Ia yakin, meski istrinya sudah meninggalkannya, anak-anaknya masih menyayanginya. "Saya berdoa, kalau anak-anak saya sudah punya tempat tinggal sendiri, insya Allah saya tinggal sama mereka," tandas pria muslim ini.
Matahari makin meninggi. Parman beranjak melangkahkan kakinya untuk mencari tempat persinggahan berikutnya. "Saya mau ke masjid dulu, Mas. Mau istirahat dulu," katanya mengakhiri pembicaraan singkat siang ini.
Parman mungkin hanya sepenggal kisah korban krisis ekonomi yang pernah mendera Indonesia. Hancurnya keuangan menjadi sabab musabab dari segala bencana yang kemudian datang bertubi-tubi. Perhatian pemerintah kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial tentu masih belum sepenuhnya menjangkau sosok seperti Parman.
Di tengah maraknya pemberitaan mengenai upaya penertiban anak-anak jalanan oleh Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta, alangkah baiknya jika gelandangan-gelandangan seperti Parman pun mendapat perhatian dan perlakuan yang manusiawi dari pemerintah, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar